Sendiri menyandarkan hidup pada takdir tak membuat hatiku redup, kisah nyata yang kualami saat hariku tak diisi lagi oleh hatinya tak mengetarkan langkahku menyelami waktu. Hati itu telah pergi memutuskan benang jiwaku dan sempat membuat kusut warna perasaanku.
Hidup tak harus di akhiri kematian dan patah tak berarti rapuh atau lunturnya kekuatan rasa kehidupan. Sendiri berarti kita bisa merenungi hal-hal yang membuat kita sendiri dan menjadikan kita hidup tanpa selalu harus menggantungkan mimpi-mimpi kita agar dibuat nyata oleh orang lain. Kelemahan pemikiran kita akan muncul pada hari yang gelap, rasa yang pudar, mata yang redup, lidah yang lembek, hati yang rapuh karena termakan rayap-rayap waktu. Saat itulah kekuatan jiwa akan di uji dengan sapaan-sapaan wajah-wajah hati dan jika tak mampu membendung pancaran godaan-godaan sesat maka penghiatan rasa akan terjadi serta kita pun akan tega mengorbankan warna hati terdahulu yang menemani kita menjalani tapak-tapak kehidupan.
Tuhan telah memalingkan hatinya menjadi batu hitam membuat aku mengalami kebisuan total saat badai salju memberiku perasaan kesepian, tidur dalam ketakutan mengikuti menit-menit kebisuan yang dalam. Sering diriku membelalakkan mata dan mencari-cari apa arti dari kesendirian ini. Hidup tanpa kembaran hati tak menjadikan aku harus merasakan sunyi karena masih banyak jiwa-jiwa yang di gantung di dinding langit yang senatiasa berkilau serta menyinari kesendirianku. Hati yang tunggal adalah takdir perasaan, karena rasa itu muncul dan pasti akan lenyap lagi yang kemudian ketika ia pergi akan membekaskan lubang seluas gurun di hati, dan kenyataan itu membuat jauh mimpi-mimpi kita. Luka yang membekas itu takkan pernah sembuh oleh waktu tapi akan berakhir dengan kelupaan pikiran akan sakit itu.
Kehampaan mungkin adalah takdirku, terlahir bersama dengan jiwa-jiwa yang tercabik, tangisan yang melumuri hati, kekeringan di laut kehidupan dan menyatu dengan kegelapan waktu serta dibekukan oleh angin perasaan adalah hal yang sering kutenguk bersama pahitnya kenyataan.
Aku menyeru pada waktu yang berlalu yang di selimuti roda kekejaman, suara jiwaku akan menyampaikan isi pemikiranku kepada mereka yang tenggelam dalam pemikiran dengan gelombang yang tak terlihat bergetar dari dawai-dawai jiwaku menuju langit pemikiran yang dibawa oleh angin yang akan menusuk hati-hati yang beku di dada alam.
Mimpi-mimpi kosong lenyap bersama gelembung-gelembung di sungai bertebing-tebing, dedaunan musim gugur yang berjatuhan di dalam jantung bumi, warna hati yang lenyap dalam asap kelupaan, telah mengosongkan rasa yang ada di tabung hatiku serta apapun yang terjadi kini takkan dapat mengusik suburnya pikiran jiwaku. Aku akan menjadikan langit yang maha luas ini sebagai selimutku saat angin kesepian menjamahku serta bunga-bunga di padang kehidupan ini sebagai tempat peristirahatanku. Alam akan menyapaku sebagai salah satu miliknya.
Raga adalah rahim bagi kedamaian jiwa dan didalam rahim jiwa bersemayan cahaya yang membara. Angin sepoi-sepoi yang bersukaria membawa sukacita kepada hati yang menderita dan kesedihan hati hanyalah merupakan impian-impian fantasi yang berlalu dengan cepat bagai air sungai yang mengalir deras, di taman cahaya ini kesedihan akan lenyap bagai daun-daun musim gugur yang bertaburan pada permukaan air sungai dan hati akan tenang bagai telaga luas yang berair tenang di bawah cahaya mulia Tuhan. Jangan biarkan hidup ini bagai patung yang diam saat terlindas waktu…Move Guys and Don’t Give UP!!!
PERCAYALAH KITA TAKKAN SELAMANYA SENDIRI JADI NIKMATILAH KESENDIRIAN ITU SAAT MASIH SENDIRI…
Original Created by : Revan Aditya 15, June 2009
Selasa, 16 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar