Sabtu, 06 Februari 2010

DONGENG ANGIN

Berjalan melompati waktu bersama bayangan hidupku di padang pasir kehidupan tak membuatku haus akan perasaan karena kekasihku mencintai karena Tuhan. Telah lama aku mengukur hari dan banyak melelehkan lilin-lilin waktu bersamanya serta mencoba menjumlahkan daun-daun derita yang kami pungut dari pohon-pohon kehidupan dan mengolahnya menjadi madu jiwa yang manis akan rasa cinta sehingga sayap-sayap perasaan pun kemudian menerbangkan kami ke taman langit. Disana aku mencoba membangun menara cinta sebagai pembuktian bahwa rasa ini telah melebihi batas hati.

Aku pun mengayuh perahu percintaan mengarungi lorong-lorong ombak waktu yang tak terukur dengannya hingga pantai kebahaagian pun telah tampak di depan mataku, akan tetapi belum sempat aku menapakkan kaki keyakinanku di pantai itu, tiba-tiba tiupan angin pertentangan menggoyahkan perahu percintaanku yang kemudian menenggelamkannya. Di saat itulah bayangan hidupku berpindah ke perahu yang lain dan membiarkanku mati tergulung ombak derita. Dia pergi dengan beribu tawa dan tak ingin lagi menengokku yang akhirnya menjadikanku sebuah bangkai demi kebahagiaannya.

Sesungguhnya pada saat aku berlayar dengan bayangan hidupku, begitu banyak hati yang mengapung dan berharap ku pungut dari lautan kesendirian. Beberapa diantaranya pun kusentuh dengan sisa-sisa tangan perasaan serta mencoba mengobati hati yang mengapung itu karena goresan pisau cinta yang tak mampu mengering. Dari kedalam jiwa kembaran hatiku pun mengamuk pada langit karena merasa cintaku untuknya telah mencair dan meluap menuju lubang-lubang hati yang lain. Kayu perahu cintanya pun mulai rapuh di resapi air-air cemburu, yang lama-kelamaan akan melubangi perahu kami. Aku pun mencoba memperbaiki perahu itu dengan segenap kayu-kayu jiwaku yang patah, sembari berharap bahwa aku masih bisa berlayar melintasi samudra waktu dan menggapai pantai kebahagiaan dengannya.

Tiba-tiba dari ujung lautan percintaan, badai perpisahan pun datang menerbangkan perahuku ke ketinggian langit yang kemudian menjatuhkan perahu itu hingga termakan lautan dan menenggelamkannya di dasar kegelapan. Dan yang tak kusangka-sangka sebelumnya ternyata kekasihku masih mampu terselamatkan oleh angin godaan yang membuatnya berpindah ke perahu rasa yang lain.

Lihat diriku hancur karena kembaran hatiku. Dahulu dia selalu memeluk tubuhku dan menangis di dadaku saat angin derita mencambuk jiwanya. Kini dibalik setiap senyumanku, aku mencoba menyembunyikan tangisan piluku. Di tawa kebahagiaanku sesungguhnya begitu banyak denyut kekosongan. Dia mengiris-iris hatiku dengan tusukan jarum-jarum kenangan yang tak mampu terlepas dari dinding pikiranku. Walau hatiku tercabik-cabik tetapi aku masih mencoba untuk hidup di hadapan kematian, karena aku menyakini bahwa angin kelupaan akan menghapus jejak kaki perasaannya dalam salju pikiranku.

Begitu lama aku tak bernafas saat tenggelam di lautan derita yang dalam dan hampir saja air-air kematian mencekik nyawaku saat kurasa takkan ada lagi darah-darah perasaan yang akan mendetakkan hatiku dan mendetikkan jam kehidupanku. Dia tega memukul wajahku dengan airmata hingga bengkak.

Air kebangkitan pun terus mengaliri sungai-sungai kekosongan. Salah satu hati yang mengapung itu kini ternyata mampu berlari menelusuri lorong-lorong hati yang gelap dan mampu terbang untuk mengangkatku dari kegelapan menuju cahaya. Hati terapung itu pun kini mencoba menjadi pelampung kehidupanku hingga setiap butiran-butiran perasaanku pun meneteskan namanya di tanah jiwaku.

Setiap pagi aku mencoba meneteskan sebuah embun kerinduan di tanah hatinya karena mungkin sesungguhnya hati terapung itu adalah bayangan jiwaku di kehidupan. Mungkin dia adalah cerminan hidupku yang abadi di alam waktu. Suatu saat bila cintaku masih berdetak, itu karena dialah denyutnya. Jika aku masih bisa merasakan hidup, itu karena dialah nafasnya. Jika aku masih mampu bergerak itu karena dialah darah yang menggerakkanku.

Wajah langit telah menjatuhkan bintang perasaan di bumi hatiku yang selamanya akan terbenam di lautan jiwaku. Jangan pernah melangkah dari perasaanku, karena malam akan menelan siang dan wajahku akan menjadi danau airmata jika dia pergi. Dia telah meracuniku dengan perasaannya dan membunuhku dengan keindahannya. Jika jam waktuku di dinding kehidupan telah habis dan mungkin wujudku tak terlihat lagi oleh mata-mata, yakinlah cintaku masih akan terasa selalu menemani setiap detak jantung kehidupannya dan detik setiap langkah waktunya, Karena angin selalu meniupkan pesona dirinya ke dalam mata, hati, pikiran dan jiwaku.

Lompatan waktu yang secepat cahaya mungkin akan menjadikan kisah ini mejadi sebuah dongeng yang akan terus mengalir hingga angin kelupaan pun akan menghapus kisah ini dari catatan waktu.

< August, 03-08-09 >
Original Created By : Revan Aditya

Tidak ada komentar: